islamic Center

Intervensi Demokrasi Dalam Islam (Part - 1) ~ Islamic Center

Sabtu, 27 Desember 2014

Intervensi Demokrasi Dalam Islam (Part - 1)

Demokrasi
PERJALANAN sejarah perjuangan umat Islam akhir-akhir ini mencatat, bahwa gerakan Islam memiliki potensi cukup besar untuk memenangkan suara mayoritas melalui pemilu demokrasi. Akan tetapi, kemenangan tersebut menjadi tidak efektif setelah kekuasaan itu diraih. Kemenangan FIS di Al-Jazair pada era 90-an sebagai contoh, begitu mudah dianulir pihak militer. Begitupun kemenangan Najmuddin Erbakan di Turki. Jauh sebelumnya, kemenangan Masyumi di Indonesia hingga meraih kursi Perdana Menteri.


Dan yang paling baru, kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Belum genap setahun berkuasa, pemerintahan Presiden Mursi ditumbangkan secara illegal melalui kudeta militer.
Menyaksikan fakta ini, cukup menarik mengikuti perbincangan A. Hassan dengan  PM Moh. Natsir yang diceritakan pada Muhammad Thalib, tahun 1968, oleh almarhum Abdullah Musa, penanggungjawab Majalah Al-Muslimun dan menantu A. Hassan.
A. Hassan mengatakan, ” Setelah Sukarno meraih kekuasaan menjadi Presiden RI dia berani lansung menghantam dan mendiskreditkan Islam. Tetapi mengapa ketika Natsir menjadi Perdana Menteri, tidak berani membela Islam dan menghantam lawan lawan Islam? Karena takut dituduh tidak demokratis oleh Barat.”
Kelemahan tokoh-tokoh Islam, takut dituduh anti barat dan tidak demokratis. Sibuk dengan kesan orang kafir, padahal rezim kuffar dimanapun tidak pernah mempertimbangkan eksistensi Islam dan umat Islam dalam menentukan sistem pemerintahan apa yang akan mereka jalankan.
Sikap yang sama berulang lagi pada Presiden Mursi. Dalam suatu wawancara dengan media Prancis Le Monde, seminggu setelah dilantik sebagai Presiden Mesir. Pewawancara menanyakan: “Apakah Ikhwanul Muslimin akan menjadikan Mesir sebagai negara agama?” Presiden Mursi menjawab: “Mesir tidak akan menjadi negara agama.”
Ini membuktikan, bahwa Mursi tidak mau berterus terang menghadapi kaum sekuler, mungkin takut dituduh anti demokrasi. “Berani melecehkan Islam, tapi takut melecehkan demokrasi” merupakan sikap umum sebagaian besar tokoh-tokoh Islam.
Intervensi demokrasi sudah sedemikian jauh menyusup ke relung hati sebagian tokoh Islam, dan mengotori aqidah serta pemahaman agama kaum Muslim. Tidak sedikit yang berpendapat, demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Lalu, sadar atau tidak sadar, mereka tampil sebagai bemper demokrasi, menjadikannya sebagai barometer politik dan ideologi.
Makna harfiyah demokrasi, sebagai pecahan dari dua kata demos (rakyat) dan kratos(kekuasan) adalah kekuasaan rakyat. Inilah makna essensial dari demokrasi, yaitu kekuasaan berada di tangan rakyat. Termasuk tasyri’ul jamaahiir (wewenang membuat hukum) tergantung suara mayoritas rakyat. Sebagai sistem hidup dan tatanan politik dalam bernegara, demokrasi tidak memiliki sumber hukum, tidak punya kitab suci, apalagi Nabi, semuanya tergantung kehendak dan hawanafsu rakyat, yang disampaikan melalui wakil-wakilnya di parlemen.
Prinsipnya adalah, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kemauan rakyat mayoritas merupakan hukum tertinggi dalam merumuskan undang-undang; sedang kebenaran tergantung kehendak mayoritas. Mengapa kaum demokrasi tidak menggunakan akalnya? Jika suara rakyat adalah suara tuhan, mengapa suara tuhan begitu mudah dibeli dan dimanipulasi pada setiap Pilpres, Pilgub dan Pilkada?
Sesungguhnya Islam mengajarkan, bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah Swt. Islam mengajarkan untuk beribadah dan berserah diri hanya kepada Allah saja. Sebagai tatanan politik bernegara, Islam memiliki sumber hukum, yaitu Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Hukum buatan manusia disebut Undang-undang, dan hukum ciptaan Allah disebut SYARI’AT. Implementasi dari Hukum Qur’an dan Hadist, inilah yang seharusnya dilaksanakan oleh manusia dalam segala aspek kehidupannya.
Kontroversi di kalangan umat Islam, sesungguhnya dipicu oleh dua hal ini. Apakah dalam menyelenggarakan kekuasaan Negara, umat Islam ‘beriman pada konsep kedaulatan rakyat (demokrasi)’ dan menolak konsep kedaulatan Allah Swt (Islam), atau sebaliknya menolak konsep demokrasi secara totalitas dan menerima konsep Islam secara totalitas pula? Atau memilih opsi oportunistik, memadukan demokrasi dan Islam, menolak sebagian dan menerima sebagian ajaran Islam, seperti yang dilakukan orang-orang kafir ahli kitab yang dimurkai Allah?
 “Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikiandaripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah, 2:85)
Terhadap kenyataan ini, semestinya umat Islam, baik yang berada di dalam parpol atau ormas Islam tidak boleh terlena dan lengah. Apa jadinya jika atas nama demokrasi, lalu menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan sebaliknya? Ada kesan, bahwa parpol Islam justru menjadi bemper demokrasi. Dalam banyak kasus, parpol Islam justru diperalat oleh demokrasi untuk menghambat syari’at Islam. “Boleh saja Islam berperan dalam membangun masyarakat, sejauh tidak bertentangan dengan demokrasi,” alasan mereka.
Buruknya ideologi demokrasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan sebaliknya, bagai anak anjing yang tidak menaati induknya. Seperti sebuah analogi di bawah ini:
“Suatu ketika, seorang laki-laki dari bani Israil kedatangan tamu, sedang di rumahnya ada seekor anjing yang hamil tua. Berkatalah anjing itu, “Demi Allah aku tidak akan menggonggong kepada tamu tuanku”. Tiba-tiba anak yang dikandungnyalah yang menggonggong. Tuan rumah, si pemilik anjing berkata (kepada seseorang), “Alamat apa ini?” Kemudian Allah memberikan ilham kepada seorang laki-laki di antara mereka, “Ini adalah permisalan bahwa, akan ada umat sesudahmu, orang-orang bodoh dapat memaksa orang-orang yang pandai dan bijak di antara mereka.”
Analogi ini bersumber dari Abdullah bin Amr yang termuat di dalam kitab Jami’us Shaghir 5204. Maksudnya, bahwa proses mencari, memilih dan menetapkan seorang pemimpin menurut versi demokrasi adalah; siapa yang mendapatkan dukungan terbanyak maka ialah yang patut duduk sebagai pemimpin. Dan suara terbanyak sama artinya dengan siapa yang banyak omong. Alkisah orang-orang bodoh suka membuat gaduh dengan beramai-ramai bersuara keras, berkampanye, bahkan money politic, sehingga suara maupun pemikiran orang-orang pandai, cerdas, dan shalih tidak terdengar karena tenggelam dalam riuhnya suara si bodoh (anjing) yang ber-uang. Ketika tipu daya orang-orang jahat dapat mempengaruhi masyarakat awam, maka orang-orang jahat pun akan dapat mengalahkan orang-orang baik. Itulah demokrasi yang menganggap suara mayoritas sebagai tuhan (kebenaran).”


0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, dan kata-kata kotor tidak akan dipublikasikan.

Terima Kasih.