islamic Center

Intervensi Demokrasi Dalam Islam (Part - 2) ~ Islamic Center

Senin, 29 Desember 2014

Intervensi Demokrasi Dalam Islam (Part - 2)

Demokrasi
Tragisnya, sebagian besar penganut Islam tampaknya merasa amat sangat bersyukur –bukan bersedih- Indonesia diatur dengan sistem demokrasi, sehingga beramai-ramai menolak syari’at Islam. Mereka menganggap demokrasi sebagai pemersatu dan penyelamat, sedangkan syari’at Islam diposisikan sebagai ancaman dan pemecah belah rakyat.
Ucapan dan rasa syukur itu diungkapkan, misalnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam orasi pengukuhan sebagai Capres 2009: “Saya bersyukur kepada Allah Swt, keluarga saya diatur dengan demokrasi, sehingga setiap orang dalam anggota keluarga saya bebas berpendapat,” katanya bangga.

Kontra Syari’at Islam

Pertarungan antara yang haq dan bathil merupakan sunnatullah. Sedangkan upaya mensinergikan antara keduanya, adalah program syetan. Oleh karena itu Islam dengan tegas menolak sinkretisasi/oplos kebenaran dan kebathilan sebagaimana firman-Nya:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dan yang bathil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah, 2:42)
Pada tataran ideologis dan praktis, pertarungan yang terjadi sekarang bukan hanya antara Muslim dan Non Muslim, justru antara  Muslim yang mendukung dan anti formalisasi syari’ah.  Proses syetanisasi di negeri ini, tidak hanya dimonopoli orang kafir; tetapi berlangsung secara legal, formal, dan konstitusional. Seperti dikatakan sekte JIL (Jaringan Islam Liberal), “Kita menerima ideologi demokrasi, karena demokrasi mensinergikan antara yang baik dan buruk, halal dan haram.”
Kelompok anti syari’ah Islam meyakini bahwa demokrasi lebih tepat bagi bangsa Indonesia, karena bisa mensinergikan antara halal dan haram sesuai kebutuhan. Akibatnya muncul sikap ambivalen dan munafik.
Pada masa Orde Baru kekuasaan politik memang cenderung represif pada Islam karena dianggap menjadi salah-satu potensi ancaman pada rezim yang sedang berkuasa. Upaya sistematis dilakukan oleh kekuasaan formal untuk menekan gerak sosial-politik umat Islam termasuk pemberian cap ‘ekstrim kanan, subversi, radikal, teroris dsbnya,’ yang ujung-ujungnya menekan aktifis Islam untuk tidak bisa bergerak maju dalam bidang sosial-politik.
Partai politik yang berasas Islam pun secara sistematis diseret ke arah meninggalkan asas Islam, demikian pula dengan ormas Islam sekalipun yang akhirnya merubah asas Islam menjadi asas lain. Masalahnya, apakah dengan mimikri politik seperti itu Indonesia menjadi lebih maju dan berjaya? Kerusakan masyarakat terus saja bertambah di atas kerusakan yang sudah menggunung.
Lalu, mengapa ada sejumlah tokoh Muslim, bahkan dari kalangan orang-orang yang menyatakan diri sebagai pembela Islam, justru menolak formalisasi syari’at Islam? Mengapa terdapat hamba Allah yang membangkang kepada Allah Swt? Apa sesungguhnya dasar berfikir yang melatarbelakangi mereka menolak syari’at Islam?
Menurut pengalaman bertahun-tahun di arena perjuangan, dan fakta sosial di masyarakat, faktor penyebabnya antara lain:  di kalangan kaum Muslimin, muncul kesan bahwa menegakkan kehidupan berbasis Islam merupakan ancaman terhadap keselamatan diri di tengah berlangsungnya globalisasi politik, ekonomi, budaya dan globalisasi agama. Hal ini tercermin pada keengganan mereka untuk berterus terang dengan agamanya, dan dengan terpaksa menerima stigmatisasi musuh-musuh Islam; bahwa Islam adalah agama yang telah kehilangan relevansi untuk terus dipertahankan di era globalisasi ini. Padahal Allah Swt telah menginformasikan melalui firman-Nya:
“Thaaha, Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah, yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan langit dan bumi yang tinggi.” (Qs. Thaaha, 20:1-3)
Selain faktor di atas, banyak kalangan Muslim yang memosisikan Islam selaras dengan demokrasi. Sehingga, ketika mereka melakukan amal-amal demokrasi berlandaskan kedaulatan rakyat dan tunduk pada suara mayoritas, mereka ingin perbuatannya itu dilabeli merk ‘Islami’. Padahal, tidak semua ajaran demokrasi sesuai syari’at Islam, sebaliknya apa yang sesuai dengan syari’at Islam dianggap tidak demokratis.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, dan kata-kata kotor tidak akan dipublikasikan.

Terima Kasih.