islamic Center

Intervensi Demokrasi Dalam Islam (Part - 3) ~ Islamic Center

Senin, 29 Desember 2014

Intervensi Demokrasi Dalam Islam (Part - 3)

DemokrasiBaca Sebelumnya - Intervensi Demokrasi Dalam Islam (Part - 2)


Jika Islam yang dimaksud seperti yang dipahami kebanyakan orang Islam yang anti syari’at Islam, atau menerima sebagian dan menolak sebagian dari ajaran Islam, mungkin dapat diselaraskan dengan demokrasi. Tetapi jika Islam yang dimaksud seperti yang diwahyukan Allah dan diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, mustahil bisa dicocok-cocokkan. Sebab Islam berdiri tegak di atas landasan Tauhid, sedang demokrasi berdiri tegak di atas landasan hawa nafsu. Islam memiliki sumber hukum (Qur’an dan Hadits), sedang demokrasi sumber hukumnya ‘kemauan orang banyak’. Islam mengharamkan daging babi, khamer, pelacuran, perjudian, ekonomi ribawi, sedang demokrasi menganggap kemaksiatan dan kemungkaran sebagai fasilitas hidup.
Barangkali benar, bila dalam menjalani kehidupan ini seorang Muslim tidak memiliki ukuran atau barometer ideologis yang jelas, sikap dan pernyataannya kerapkali kontraproduktif. Seperti ucapan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Ketua Majelis Syuro PBB), pada Ahad, 16 Shafar 1431 H/ 31 Januari 2010 M, dalam suatu dialog dengan penulis, di hadapan Musywil Partai Bulan Bintang, Jawa Timur, Surabaya.
“Demokrasi tergantung ta’rif mana yang digunakan, karena makna demokrasi itu banyak, tidak tunggal. Perbedaan amal demokrasi atau amal Islami, mungkin saja dirasakan oleh mereka yang bergelut di bidang teori, tapi bagi yang bergelut secara praktis dan pengambil keputusan, tidak merasakan adanya konflik ideologi seperti itu. Apakah ini amal Islami atau aktivitas demokrasi, bagi saya sama saja,” tegasnya.
Pertanyaannya, jika ta’rif demokrasi tidak tunggal, lalu umat Islam harus mengidentifikasikan diri pada makna demokrasi yang mana, sehingga tidak melanggar syari’at Islam? Kaitannya dengan kebingungan memilih dan memilah ‘yang ini amal demokrasi’ atau ‘yang itu amal Islami’, sebenarnya tidak sulit. Mereka yang sedikit memahami ushul fiqh, dapat mengetahuinya melalui kaidah ushuliyah. Dalam teori ushul fiqih, Imam Syafi’i membuat kategorisasi amal yang disebut “Anwa’u af’alin Nabiyyi, yaituaf’alun (perbuatan) Nabi, sebagai barometer amal dibagi tiga bagian:
Pertama, amal yang bersifat Qurbah, seperti tuntunan ibadah dari Nabi yang tidak boleh di rubah.
KeduaTho’ah, kehidupan kemanusiaan, yang dibatasi dengan hukum wajib, sunnah, dan mubah. Contoh, mandi junub. Mandinya sendiri tanpa diatur agama, kita sudah biasa mandi, dilakukan oleh orang kafir maupun Muslim. Bedanya, mandi junub bagi orang Islam adalah mandi yang dilakukan setelah berhubungan seksual dengan istri, perempuan datang haid atau nifas. Agama yang dibawa Nabi Muhammad menjelaskan itu, maka kita mesti Tho’ah.
Ketiga, bersifat Jibillah, perbuatan Nabi yang bersifat naluriah. Dalam hal perbuatan yang bersifat jibillah prinsipnya adalah mubah, kecuali ada larangan.
Jadi, tidak perlu bingung, apalagi melakukan sinkretisasi ideologi. Dengan kategorisasi ini, dimaksudkan agar seorang Muslim dalam menerima atau menolak sesuatu, bukan karena sesuai atau bertentangan dengan demokrasi; melainkan selaras dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Ketakutan kelompok liberal akan bahaya menguatnya kekuatan Islam yang dianggap sebagai ancaman bagi masa depan pluralisme di Indonesia terus diopinikan dengan resonansi yang kian masif. Sebuah forum yang menyebut dirinya “Konferensi Nasional Lintas Agama” atau Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dihadiri oleh sekitar 80 peserta ‘tokoh lintas agama dan kepercayaan’ dari berbagai daerah, dan menolak Perda yang bernuansa Syariat Islam, memutuskan akan mendesak Pemerintah untuk mencabutnya. 
“Kami akan sampaikan kepada presiden dan wapres yang baru terpilih agar perda-perda dievaluasi dan bisa masuk ke MK (Mahkamah Konstitusi) atau Mahkamah Agung (MA) untuk dilakukan judicial review”, ujar ketua forum yang ternyata seorang Doktor Agama Islam dan PNS di Departemen Agama RI.” (Harian Surya, Rabu 7/10/09).
Apa yang disebut Perda Syariah itu? Yaitu, adanya daerah-wilayah di Republik Indonesia ini, di mana para pejabat legislatif yang beragama Islam membuat kesepakatan untuk menggoalkan suatu Perda (Peraturan Daerah) yang diinspirasi ajaran agamanya, yakni Syariat Islam terkait pengelolaan wilayah, (seperti menolak perjudian, pelacuran, korupsi, dan kemasiatan lain sesuai tuntunan agama yang dipeluknya). Mereka menggunakan mekanisme yang sudah sejalan dengan proses pembuatan sebuah perda, termasuk, tentu saja rapat-rapat di DPRD dengan pihak lain, lalu mereka berhasil menggoalkan Perda tersebut. Apa yang salah dengan Perda seperti itu?

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, dan kata-kata kotor tidak akan dipublikasikan.

Terima Kasih.